” Upaya mengembalikan fungsi rumah sebagai wahana tarbiyah Islamiyyah sebagaimana diamalkan Salaful Ummah”
Oleh : Abu Muhammad Ade Abdurrahman
Home-Schooling secara harfiah berarti : bersekolah di rumah.
Home-Schooling
diselenggarakan ketika orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan
menyekolahkan anaknya, baik karena alasan jarak (karena tinggal di
pedalaman, misalnya) ataupun karena alasan-alasan tertentu lainnya.
Mengapa
disebut Home-Schooling (bersekolah di rumah), bukan Home-Learning
(belajar di rumah) ? Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat.
Barangkali ini adalah bias budaya. Kita maklum, saat ini bersekolah
merupakan tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga kemudian dianggap
suatu kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.
Karena
itu, ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka
dia khawatir akan dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak
asasi anak’.
Untuk
itulah, barangkali, para orangtua yang menyelenggarakan pembelajaran
anak-anak mereka di rumah seakan hendak ‘membela diri’, bahwa merekapun
sebenarnya menyekolahkan anak-anak mereka juga. Hanya berbeda lingkungan
dan metodenya. Itulah, mengapa kemudian disebut Home-Schooling.
Untungnya, dalam hal ini pemerintah tidak salah kaprah sehingga
menetapkan kebijakan : wajib belajar. Dan tidak menetapkan wajib
bersekolah.
Substansi
dari bersekolah (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning).
Belajar dapat dilakukan di manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara
untuk belajar. Jadi, para orangtua tak perlu merasa bersalah atau rendah
diri dengan menjalankan Home-Schooling. Juga, mereka yang menyekolahkan
anaknya ke sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.
Sebab,
kalau kita mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut
mempertanyakan : Apakah benar bersekolah itu otomatis sama dengan
belajar ? Jawabannya : Belum tentu !
Mari kita pelajari faktanya ! Saat
ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan perguruan
tinggi ? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus
pengangguran ? Padahal, betapa besar karunia Allah berupa kekayaan alam
di negeri ini. [1] Apa yang mereka pelajari di sekolah ? Inilah salah
satu fakta bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata
lain bersekolah belum tentu berarti belajar.
Dalam
banyak kasus, bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup
seorang anak. Tidak sedikit anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif
yang menghancurkan hidup mereka, justeru mereka dapatkan lewat pergaulan
di sekolah, baik dari (oknum) guru-guru mereka atau dari (oknum)
kawan-kawan mereka.
Tanpa
perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode
pembelajaran dan sistem evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung
menciptakan mental-block (hambatan mental) yang menghambat laju
kreatifitas anak, padahal justeru hal itu amat dibutuhkan di era
informasi global saat ini.
Sekiranya
otak anak terus menerus hanya dijadikan keranjang informasi iptek
(itupun hanya sebatas untuk keperluan menyelesaikan soal-soal ujian).
Maka dapat dibayangkan, betapa akan kesusahannya dia mengejar laju
pertambahan informasi iptek yang terus berkembang dalam hitungan jam,
atau bahkan menit.
Mengapa
tidak terpikirkan oleh kita - para orangtua - untuk melatih dan
mengasah otak mereka yang ajaib itu agar mampu memola ulang informasi
tersebut, sehingga akhirnya mereka mampu menciptakan informasi baru ?
Merangsang
anak untuk bertanya ‘Apa .?’ , ‘Mengapa . ?’ dan ‘Bagaimana. ?’ adalah
hal yang penting sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.
Namun
di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya :
‘Mengapa tidak .?’ dan ‘Bagaimana jika .?’. Agar mereka menjadi
insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun sebenarnya adalah
bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas
mengasahnya. Atau, malah menyia-siakannya.
Sayang
sekali, keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) - dua
mutiara terpendam dalam jiwa anak - saat ini justeru banyak
ditelantarkan di sekolah massal (formal). Wajar kalau Robert T. Kiyosaki
berteriak lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To
School !”.
Ada
alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik,
seunik sidik jari mereka; yakni masing-masing anak secara individual
memiliki pembawaan dan cara yang khas dalam menyerap serta menggali
pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat menemukan cara
belajar mereka yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di
sekolah ?
Berdasarkan
penelitian [2] bahwa seseorang menjadi jenius adalah pada saat dia
mampu menemukan sendiri cara belajarnya yang unik dan orisinil. [3]
Seperti dikatakan Enstein : “Saya tidak memiliki bakat-bakat khusus,
tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar sekali.”.
Keingintahuan
yang sangat besar - dilandasi keikhlasan - jugalah nampaknya yang
membuat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah mampu
bersabar duduk berjam-jam lamanya di sudut sepi perpustakaan. Beliau
lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga akhirnya menjadi jenius
di bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya. Menjadi mujaddid abad ini
sebagaimana diakui ulama besar yang sezaman dengan beliau, Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah.
Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu ditegaskan di sini bahwa :
· Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi keguruan.
·
Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau
menggugat peran sekolah formal yang sudah ada dan banyak memberikan
kontribusi kepada masyarakat.
· Kami pun tidak mengklaim bahwa : Home-schooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik Anak.
Tetapi . yang kami yakini :
-
Home-Schooling adalah : Sarana paling efektif dalam upaya membangun
hubungan baik dan hangat dengan Anak. Mendampinginya saat ia menjalani
hari-harinya untuk terus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa.
-
Home-Schooling adalah : Alternatif terbaik dalam mendidik Anak,
memelihara fithrahnya serta mengembangkan potensinya yang unik. Karena
berpijak pada orisinalitas dan individualitasnya sebagai hamba Allah.
-
Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah)
untuk menunaikan secara optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti
akan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
-
Home-Schooling adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah)
untuk mengembangkan potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu
syar’i, memperbaiki akhlaq diri, membina keluarga sakinah, mengembangkan
kemampuan berkomunikasi dan bersosialisai, bahkan mengembangkan potensi
ekonomi.
ISLAMIC HOME-SCHOOLING
Islamic
Home-Schooling (Selanjutnya akan disingkat IHS) adalah Home-Schooling
yang diselenggarakan bertitik tolak dari pertimbangan syar’i, yakni
kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak, serta dijalankan
dengan mengikuti tuntunan AlQuran dan AsSunnah sebagaimana dipahami dan
diamalkan para pendahulu ummat ini yang shalih (AsSalafush Sholih).
Tujuannya adalah :
1. Terciptanya keluarga sakinah; yang di dalamnya semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan sebaik-baiknya
2.
Terbentuknya generasi penerus yang bertauhid, berpegang kepada sunnah,
berakhlaq mulia, berbadan sehat, multi-cerdas, kreatif dan mandiri serta
memiliki semangat untuk membela Islam dan kaum muslimin
SUBYEK IHS
IHS
PERMATA HATI dimaksudkan bagi anak usia 0 - 13 tahun secara umum. Atau
sampai anak berusia 16 tahun bagi orangtua yang memiliki kemampuan
mengajarkan gramatika Bahasa Arab (kitab gundul) dan ilmu-ilmu syar’i
tingkat menengah. Adapun setelah anak memasuki usia baligh maka anak
harus diarahkan untuk melakukan rihlah ilmiyyah guna menimba ilmu dari
para ulama, jika hal itu memungkinkan (dan memang harus diupayakan).
MENGAPA “ISLAMIC HOME-SCHOOLING” ?
Menyelenggarakan
IHS membutuhkan motivasi yang luar biasa besar dari pihak orangtua.
Motivasi akan muncul ketika seseorang dengan sadar dan yakin memahami
alasan mengapa dia melakukan sesuatu. Maka kita dituntut untuk memiliki
prinsip.
Ada beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan prinsip dalam menyelenggarakan IHS :
1. Pertimbangan syar’i. Dalam syari’at, kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab orangtua.
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)
“Setiap
anak yang dilahirkan berada di atas fithroh (Islam), maka kedua
orangtuanyalah yang menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi.”
(HSR. Malik, Ahmad, AlBukhori, Muslim, Abu Daud, AtTirmidzi)
2.
Pertimbangan fakta sejarah. Banyak kisah dalam AlQuran yang
menggambarkan peran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak
mereka. (Baca : Qs. Maryam 54-55, QS. Luqman : 13) Interaksi Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cucu beliau, Hasan dan Husain, atau
dengan sepupu beliau, Ibnu Abbas, atau dengan putera asuhnya yang
berkhidmat kepada beliau, Anas bin Malik juga dapat kita jadikan
referensi. Dari kalangan ulama Islam, tercatat misalnya Ibnul jauzi yang
menulis kitab khusus untuk puteranya yang berisi petunjuk menuntut ilmu
secara lengkap, Laftatul kabid fi nashihatil walad (Kitab ini patut
menjadi rujukan dalam IHS).
3.
Pertimbangan naturalitas. Perhatikanlah, anak ayam belajar tentang
hidup kepada induknya. Anak kucing belajar tentang hidup kepada
induknya. Bayi ikan paus belajar tentang hidup berpuluh tahun pada
induknya. Tapi lihatlah si ujang dan si nyai. Kepada siapa mereka
belajar tentang hidup ? Ah kasihan sekali, mereka belajar tentang hidup
kepada orang lain yang tidak benar-benar mengenalnya !
4.
Pertimbangan orisinalitas dan individualitas anak. Orisinalitas
(keaslian) seorang anak adalah : fithroh, keingintahuan dan
kreatifitasnya. Sedangkan individualitas (ke-diri-an), meliputi qolb dan
jasad (contoh yang jelas : sidik jari, suara dan DNA). Orisinalitas dan
individualitas menyebabkan tiap anak unik dalam segala hal, termasuk
cara belajar mereka. Agar mereka dapat menemukan cara belajar mereka
yang unik, anak wajib mendapatkan kebebasan. [4]
DARI MANA KITA MEMULAI ?
a. Tash-hihun Niyyah (memperbaiki niat)
Mendidik
diri dan keluarga adalah ibadah. Ada dua rukun ibadah, salah satunya
adalah niat yang ikhlash. Rukun yang lain : muwaafaqotusy-syar’i, yakni
cocok dengan aturan syari’at. Jika salah satu rukunnya rusak maka amal
akan menjadi sia-sia.
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia, Maka kami segerakan baginya di dunia itu
apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir (terjauhkan dari rahmat Allah) QS. AlIsra: 18
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud : 15-16)
Niatkan ber-IHS dalam rangka menjalankan kewajiban syar’i dengan mengharap keridhoan Allah dan jannah-Nya.
b.
Bagi yang masih lajang dan berniat ber-IHS, maka berhati-hatilah
memilih calon ibu/ayah dari anak anda. Tetapkan pilihan Anda itu di atas
dasar Din. Jangan silau dengan penampilan zhahir.
c. Keluarga sakinah sebagai prasyarat
Salah
satu keuntungan ber-IHS adalah kita memiliki kemauan kuat dan
terprogram untuk mewujudkan Keluarga Sakinah. Hal yang mungkin
terabaikan jika kita melempar tanggung jawab mendidik anak (usia 0-13
thn) kepada orang lain. Alasannya sederhana. Saat kita memutuskan
ber-IHS, kita ingin suasana lingkungan rumah tertata se-Islami mungkin.
Kita takut anak kita mendapat pengaruh buruk dari kebiasaan buruk kita
selaku orang tua. Maka selalu ada upaya untuk memperbaiki diri dan
keluarga.
Apa
itu Keluarga Sakinah ? Definisi yang paling teknis adalah : Keluarga
yang di dalamnya, semua hak dan kewajiban tertunaikan dengan baik.
Syaikh Muhammad Bin Sholih Al-Utsaimin dalam kitabnya, “Huququn da’at
ilaihal fithroh wa qorrorot-hasy syari’ah”, menerangkan 10 hak yang
wajib ditunaikan, yakni : Hak-hak Allah, hak-hak Nabi, hak-hak orangtua,
hak-hak anak, hak-hak kerabat, hak-hak suami-istri, hak-hak pemimpin
dan rakyat, hak-hak tetangga, hak-hak kaum muslim secara umum, hak-hak
non muslim.
Semua
hak ini wajib dipelajari secara rinci agar bisa ditunaikan dengan benar
dan sempurna. Langkah pertama adalah mempelajari. Langkah kedua
menerapkannya. Langkah ketiga terus-menerus mengevaluasi sisi mana yang
belum tertunaikan. Mewujudkan keluarga sakinah menjadi bukan khayalan
lagi, melainkan kesungguh-sungguhan yang berkesinambungan.
d.
Dengan sepenuh hati menyukai anak anda. Senang bersamanya, sedih
berpisah darinya. IHS menuntut komitmen total dari orangtua, khususnya
ibu. IHS bukan sekedar memindahkan belajar dari sekolah ke rumah
melainkan sebuah pola interaksi ideal orangtua-anak yang dibalut
kehangatan dan kelembutan.
e. Menjaga rumah dari syetan
Kita
adalah ‘keluarga besar’ Nabi Adam ‘alaihis salam. Apa yang menimpa
beliau bersama isterinya, Hawa, adalah bagian dari sejarah dan hidup
kita hari ini. Adam adalah bapak kita dan Hawa adalah ibu kita, dan kita
mengetahui apa yang telah menimpa mereka diakibatkan kedengkian iblis.
Membaca ulang kisah awal penciptaan manusia akan membantu kita memahami -
atau tepatnya : selalu tersadarkan - tentang asas pendidikan Islami
yang sebenarnya. Maka kenalilah iblis dan tipu dayanya lalu jadikanlah
dia musuh untuk diperangi.
“Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka jadikalah ia musuh(mu), Karena
Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya
mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir : 6)
Beberapa kiat menjaga rumah dari syetan :
1.
Perbanyak melakukan sholat di rumah [5] , 2. Perbanyak membaca Al Quran
di rumah, 3. Biasakan dzikir pagi dan sore, 4. Jaga adab-adab di rumah
yang di dalamnya ada bacaan-bacaan yang disyari’atkan, 5. Bersihkan
rumah dari gambar atau bentuk-bentuk salib, 6. Bersihkan rumah dari
gambar-gambar hewan dan manusia, 7. Bersihkan rumah dari patung hewan
dan manusia, 8. Bersihkan rumah dari suara lonceng, 9. Bersihkan rumah
dari suara musik, 10. Jangan biarkan anjing berkeliaran di sekitar
rumah. 11. Bersihkan rumah dari kemungkaran.
f. Menciptakan lingkungan rumah yang kondusif : aman, sehat serta penuh daya-rangsang terhadap kreatifitasnya
Tentang
kriteria aman, sehat dan penuh daya rangsang dapat dipelajari lebih
lanjut dari beragai referensi. Hanya saja ada 2 prinsip yang perlu
dicatat :
Pertama,
lebih baik membatasi lingkungan daripada membatasi anak. Kedua, kurangi
aturan (omelan-omelan) dengan cara menetapkan tempat tertentu untuk
barang tertentu kemudian beri label dan tempel aturan singkat yang jelas
dan dapat dibaca anak.
g. Memiliki kemauan keras untuk mempelajari baca tulis AlQuran dan ilmu-ilmu syar’i tingkat dasar
Dapat
dikatakan bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak
usia s/d 13 tahun (usia ibtida-iyyah) adalah apa yang juga wajib
diketahui semua muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk
menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak
memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Jelaslah ber-IHS
merupakan peluang emas bagi kita untuk meningkatkan kwalitas keislaman
kita.
h. Mempelajari keterampilan mendidik dengan cinta
Peran
orangtua dalam mendidik anak persis seperti petani yang menanam padi di
sawah. Yang harus dikerjakan dan selalu diperhatikan ada 5 hal :
1. Mempelajari ilmu tentang bercocok tanam (poin g dan h)
2. Memilih benih yang unggul (poin b)
3. Mempersiapkan lahan dengan mencangkul dan membajak (a, d, c dan f)
4. Memberikan nutrisi yang cukup : air dan pupuk
5. Menjaga dari hama (poin e)
Selanjutnya
petani tidak ikut campur lagi. Bagaimana benih padi itu akan tumbuh,
berapa lama berbiji dan menghasilkan biji seberapa banyak adalah
merupakan ketentuan Allah. Petani tidak boleh dan memang tidak bisa
intervensi. Petani sudah berusaha maksimal. Dia akan mendapatkan pahala
di sisi Allah, jika amalnya itu ikhlash dan sesuai dengan syari’at.
Semuanya
sudah dijelaskan kecuali nomor 4, memberikan nutrisi. Nutrisi dalam
mendidik adalah : Rasa hormat yang tulus pada anak, Penuh pengertian,
Peka terhadap masalah dan kebutuhannya, Menerima apa adanya dengan
lapang dada. Jika menggunakan kosakata populer : Respek, Empati,
Sensitif dan Penerimaan (dapat disingkat RESeP).
APA YANG HARUS DIAJARKAN ?
Untuk
matapelajaran umum dapat mengacu pada kurikulum Diknas. Bisa juga
menetapkan sendiri. Menjadikan hidup sebagai kurikulum, tidak ada yang
melarang.
Penting
untuk selalu diingat : bahwa cara dan pola pendekatan Home-Schooling
dalam menyampaikan materi pelajaran murni berbeda dengan di sekolah.
Dalam Home-Schooling yang ditekankan adalah memilih cara berinteraksi
dan berkomunikasi yang tepat serta khas antara orangtua dan anak.
Orangtua
dituntut kreatif dalam memilih metode dan media yang membuat interaksi
menjadi hangat dan akrab. Jadikan proses belajar sebagai proses alamiah
hubungan orangtua-anak (seperti halnya melahirkan, menyusui dan memberi
makan). Semua momen interaksi orangtua-anak adalah belajar. Jadi dalam
Home-Schooling anda bisa gunakan waktu kapanpun - jika dianggap tepat -
untuk memberikan penguatan-penguatan pada salah satu materi yang menurut
anda perlu diperkuat.
Materi Diniyyah yang diajarkan di IHS PERMATA HATI, secara garis besar meliputi :
A. Tarbiyah Syakhshiyyah (Pembinaan Karakter)
B. Tahfizhul Quran
C. Tahfizhul Ahaadits
B. ‘Ulum Syar’iyyah (Ilmu-ilmu Syar’i) : Aqidah, Manhaj, Fiqh, Tafsir, Akhlaq, Tarikh
C. Bahasa Arab
MENEPIS KERAGUAN
· Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa menghadapi anak !”
Jawaban
: Kala anda memutuskan untuk menikah, apakah tidak terpikirkan bakal
memiliki anak ? Mempelajari keterampilan mengasuh dan mendidik anak
adalah konsekwensi yang harus anda pikul dari keputusan yang anda ambil
itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya memikirkan kesenangan pribadi
dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah, banyak orang yang mempelajari
keterampilan seksual dengan cara membeli banyak buku referensi atau
berkonsultasi kepada pakar seks, meski keterampilan tersebut amat sangat
bersifat primitif dan - maaf - menjijikan kala dibuka di depan publik.
Mengapa anda kalah oleh mereka. Anda bisa bersaing dengan mereka dengan
mempelajari keterampilan yang jauh lebih penting, yakni keterampilan
mendidik anak. Banyak wanita khawatir penampilannya tidak lagi menarik
di hadapan suami lalu berusaha keras dengan berbagai cara. Tapi amat
sedikit yang khawatir kalau penampilannya tidak lagi menarik di hadapan
anak-anaknya sehingga tidak melakukan apapun untuk mereka. Ah, tragis
sekali !
· Keraguan kedua : “Aku bukan ustadz !”
Jawaban
: Ini sudah dijelaskan, bahwa materi pelajaran inti yang wajib
diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa
yang juga wajib (fardhu ‘ain) diketahui setiap muslim dan muslimah. Maka
tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun
sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak.
Anda bisa bertanya pada diri sendiri : “Apakah kalau aku tidak ber-IHS,
aku bebas dari kewajiban mempelajarinya ?”.
·
Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali berkata : “Kalau aku secara
total harus mengurus anak, bagaimana aku bisa mengembangkan diri ?”
Jawaban
: Saya ingin menepis keraguan ini dengan menukil beberapa kalimat yang
ditulis seorang wanita barat yang beragama nasrani, agar kaum muslimat -
yang telah dijaga kehormatan dirinya oleh Allah dengan hijab - dapat
merenungkannya (semoga kesimpulan mereka sama dengan saya, bahwa
kalimat-kalimat ini lebih layak diucapkan oleh seorang muslimah yang
berhijab) :
“Dalam
budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali
dipandang sebagai cara terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu
untuk mengembangkan diri. Saya tidak setuju sama sekali dengan pandangan
seperti itu. Waktu yang saya habiskan di rumah, bermain dan belajar
bersama anak-anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya
serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26) Selanjutnya dia berkata
di hal. 364 : “Sebenarnya hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh
anaklah kita belajar bagaimana menjadi ibu.” . Lanjutnya lagi, masih di
hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian cara untuk mengembangkan kehidupan
yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”
Kemudian dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau berolah raga ringan !
MEMETIK MANFAAT
Apa
manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS
selain pahala dari sisi Allah atas upaya kita menunaikan peran dan
kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu secara maksimal dan
optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak
manfaat lain yang semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang
terdahulu. Semoga bermanfaat.
Karawang, 28 Shafar 1428 H/18 Maret 2007
———————————————————-
[1]
Contoh kecil : Menurut keterangan Direktur Bank Mu’amalat Indonesia,
bahwa panjang pantai Indonesia adalah 88.000 km sehingga menempatkan
Indonesia termasuk 10 negara berpantai terpanjang di dunia. Ironisnya,
kita masih mengimpor 1,5 juta ton garam per tahun !
[2]
“Your child can think like a genius, How to unlock the gifts in every
child”, karya Bernadette Tynan, presiden Beautiful Minds, sebuah lembaga
amal yang didirikan untuk mendanai penelitian-penelitian yang bertujuan
mengembangkan bakat alami anak-anak, mantan dosen senior pada Research
Centre for Able Children di Oxford. (Diterjemahkan dengan judul :
“Melatih anak berpikir seperti jenius, Menemukan dan mengembangkan bakat
yang ada pada setiap anak”, Penerbit Gramedia). Inti buku itu adalah
memperkenalkan : Thumb Print Learning, yakni : cara belajar seunik sidik
jari.
[3]
Belajar secara mulaazamah kepada masyayikh, sebagaimana dijalankan para
salafus sholih berabad-abad lamanya, memberikan banyak kebebasan kepada
siswa untuk menentukan matapelajaran apa yang akan dipelajari dan
bagaimana dia mengembangkannya. Sehingga para siswa memiliki kesempatan
yang luas untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang unik. Allaahu
a’lam.
[4]
Bebas adalah keadaan seseorang ketika melakukan sesuatu dengan senang
hati dan atas pilihannya sendiri. Mukmin, ketika melakukan ketaatan
(menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya) melakukannya dengan
senang hati dan berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena tekanan.
Maka mukmin adalah orang yang sungguh-sungguh bebas dalam makna yang
hakiki. Munafiq adalah orang yang sungguh-sungguh terbelenggu jiwanya.
Kafir juga bebas, tetapi kebebasannya bersifat maya (semu), karena
secara internal dia sedang berperang dengan fithrohnya dan terbelenggu
oleh hawa-nafsunya, serta berada di bawah ancaman azab. Dari definisi
ini, dapat disimpulkan bahwa peran orangtua adalah ‘menanamkan’
pemahaman yang benar tentang kebaikan dan keburukan ke dalam pikiran
anak, sehingga nanti anak bertindak berdasarkan pemahaman, bukan karena
paksaan dari luar. Proses menanam ini harus dilakukan dengan dengan :
ikhlash, berkesinambungan, multi-metode serta pendekatan lembut dan
penuh kesabaran. Tidak ada batasan waktu tertentu yang diperlukan untuk
proses ini. Nabi Nuh ‘alaihi salam tinggal bersama kaumnya selama 950
th, berdakwah siang malam (kesinambungan), dengan i’lan dan isror
(multi-metode). Tidak dapat dikatakan gagal, hanya karena sedikit yang
mengikutinya. Tidak ada kata GAGAL dalam kamus mendidik, jika sudah
dilakukan dengan benar. Kita bertanggung jawab pada proses bukan pada
hasil ! Menemukan cara yang pas untuk menanamkan pemahaman yang benar
pada pikiran anak adalah sebuah seni mendidik yang amat indah!
Selebihnya adalah kesiapan kita untuk memberi tempo yang cukup kepadanya
untuk tumbuh dan berkembang.
[5] Pria dewasa wajib sholat fardhu di masjid. Jadi yang dimaksud bagi mereka adalah memperbanyak sholat-sholat sunnah di rumah.
—————————————————–
Dari
makalah yang diposting Bapak Fatkhurohman di milis asahpenaindonesia.
Sangat memberi pencerahan buat saya pribadi. Jika ingin mengetahui lebih
lanjut mengenai komunitas Permata Hati, bisa menghubungi :
Permata Hati (Perhimpunan Orangtua Pemerhati Islam)
Perumnas Bumi Teluk Jambe Blok S No. 238 Karawangtelp: 0267-8456046, direct 081381149700 (Fatkhurohman)
http://belajardirumah.webs.com/islamichomeschooling.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar